Minggu, 15 Juli 2018

Hizbullah: Gerakan Perlawanan yang Lahir dari Spirit Asyura


oleh Yahya Hasan Al-Bantani

“Selain Rusia dan Iran, Hizbullah adalah pemain kunci yang turut mengalahkan begundal-begundal ISIS buatan Amerika, Israel, NATO Arab yang digawangi Rezim Wahabi Saudi dkk. Paramiliter Islam Syi’ah ini didirikan oleh para petinggi agama di Iran, Libanon, dan Irak, dengan melandasi diri mereka pada semangat Asyura. Sementara itu, penyumbang persenjataan terbesar mereka adalah Iran, selain mereka juga menggunakan persenjataan buatan Rusia”.

Tanpa revolusi Imam Husain, maka Islam akan berubah menjadi pemberi stempel pemerintahan imperialis sebagaimana yang terjadi sebelum Islam

HIZBULLAH adalah organisasi politik dan paramiliter Muslim Syi’ah yang berbasis di Libanon. Hizbullah didirikan pada tahun 1982 dan mempunyai pengaruh besar dalam politik Libanon dengan memberikan pelayanan sosial, mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, membuka daerah pertanian serta perlayanan lainnya untuk ribuan Muslim Syi’ah Libanon. Dengan sendirinya, Hizbullah kemudian dianggap sebagai cermin gerakan perlawanan di dunia Arab dan Muslim dunia.

Pada awalnya para pemimpin Hizbullah mengatakan bahwa gerakan ini bukanlah sebagai sebuah organisasi, oleh karena itu tidak mempunyai kartu anggota, hiraki kepemimpinan dan struktur organisasi yang jelas. Sejarah kelahiran Hizbullah memiliki kaitan erat dengan revolusi Islam di Iran –di bawah pimpinan Ruhullah Al-Musawi Khomeini pada tahun 1979. Semenjak tahun 1982 Hizbullah mulai mendapatkan legalitas dalam memberikan perlawanan terhadap penjajah Israel di Lebanon. Pada tahun 1985 Hizbullah secara resmi mendukung Revolusi Islam di Lebanon. Strategi politik dan militer Hizbullah pun dinilai sukses, terbukti dengan hengkangnya Zionis Israel yang didukung Amerika, Perancis dkk dari tanah Libanon pada tahun 2000.

Berdirinya organisasi Hizbullah tidak terlepas dari spirit Islam Syi’ah yang berkiblat ke Madrasah Ad-Diniyah Najaf Irak dan partai dakwah Islam yang diketuai oleh Muhammad Baqir As-Shadr di Irak. Lembaga ini telah mencetak generasi-generasi militan Syi’ah di Lebanon. Satu di antaranya adalah Musa As-Shadr, pendiri Harakah AMAL (Batalyon Perlawanan Libanon).

Ketika kancah perpolitikan Libanon mulai nampak keruh pada tahun 1978, Musa As-Shadr tiba-tiba menghilang dari kancah perpolitikan. Bersamaan dengan itu muncullah nama Muhammad Husain Fadlullah sebagai figur di dunia pendidikan dan politik, yang secara tidak langsung memengaruhi kondisi perpolitikan di Libanon. Namanya kian mencuat seiring dengan berdirinya Hizbullah. Bahkan ia sempat dinobatkan sebagai pimpinan spiritual Hizbullah. Akan tetapi ia menolaknya. Namun tak seorang pun memungkiri kiprah Fadlullah dalam memajukan Hizbullah –baik dalam bidang politik maupun militer.

Berbicara Hizbullah sangat dekat dengan organisasi Muslim Syi’ah di Libanon dan memiliki hubungan dengan Negara Islam Iran. Sebab, pendiri utama Hizbullah adalah kebanyakan dari kalangan Tokoh Muslim Syi’ah. Salah seorang Tokoh kalangan Syiah adalah Musa Al-Shadr, yang lahir di kota Qum, Iran, di salah satu daerah yang bernama Zaqaq ‘Isyaq Ali (Asyqali). Musa Al-Shadr disebut sebagai Bapak Spiritual Hizbullah. Pada tanggal 25 Agustus 1978, Musa Al-Shadr pergi ke Libya dan bertemu dengan Kolonel Moammar Qaddafi.

Namun setelah itu beliau hilang tanpa jejak. Beberapa media mengatakan bahwa Libya dicurigai telah membunuh Musa Al-Shadr akibat perselisihan tajam antara Qaddafi dengan Musa Al- Shadr perihal peran Libya di balik perang saudara Libanon pada tahun 1970-an.

Strategi dan Doktrin Hizbullah


Paradigma baru Hizbullah tidak terlepas dari peran ideolog sekaligus pemimpin Hizbullah, Sayid Hasan Nasrallah. Pasca tewasnya Imad Mughniyeh, sang komandan perangnya yang dibom agen Israel di Damaskus, 12 Februari 2008, Nasrallah menjelaskan pergeseran paradigma dan doktrin perang Hizbullah. Menurut Nasrallah, gerakan perlawanan telah memasuki proses tahapan ketiga dari “perlawanan bersenjata yang mengandalkan perlawanan rakyat secara spontan” menjadi “aksi militer bersenjata yang terorganisir”. Kini perlawanan memasuki tahap akhir, dengan “memanfaatkan mazhab baru perang yang belum ada sebelumnya, yakni kombinasi peran tentara regular dengan pejuang gerilya”.

Hizbullah sukses mensintesiskan metode konvensional dengan non-konvensional, baik strategi, taktik, senjata maupun organisasi. Hizbullah bergerak dari sebuah kelompok perlawanan menjadi tentara perlawanan. Dalam level strategi, gerakan Hizbullah berevolusi dari kelompok gerilya klasik yang berhasil memaksa Israel mundur dari Lebanon selatan di tahun 2000 menjadi “kekuatan perlawanan quasi konvensional” yang mampu mencegah pasukan Israel melakukan pendudukan lagi.

Nasrallah menjelaskan perubahan radikalnya tersebut sebagai berikut: “Saya membedakan antara kelompok perlawanan yang berperang melawan tentara regular yang menduduki suatu wilayah dan mereka melakukan operasinya dari dalam wilayah tersebut atau sering disebut perang gerilya dengan kelompok perlawanan yang melawan agresi yang hendak mencaplok wilayah dengan mencegah mereka dari melakukan hal itu dan menimpakan kekalahan atas mereka. Kelompok perlawanan tidak lagi membebaskan wilayah itu namun mencegah agresi musuh.”

Hingga tahun 2000, konsep perlawanan Hizbullah sejalan dengan pengertian konvensional, kelompok pembebasan rakyat yang berjuang melawan pendudukan asing. Misi satu-satunya adalah mengusir penjajah. Namun pasca penarikan mundur tentara Israel di tahun 2000, Hizbullah mengembangkan doktrin militernya yang difokuskan mencegah Israel menyerang Libanon. Oleh karena itu, definisi perlawanan diperluas dengan mencakup kemampuan menghadapi invasi dan melawan ancaman pendudukan. Melalui rekonstruksi konsep perlawanan seperti ini, yakni menjalankan misi mempertahankan wilayah Libanon dari serangan musuh, maka gerakan ini memerankan diri mereka sebagai aparat militer negara.

Penggabungan kedua strategi itu terefleksikan dalam kemampuan mereka menggunakan pelbagai jenis persenjataan dasar yang biasanya dipakai kalangan gerilyawan, disamping juga sistem persenjataan modern yang sebanding dengan persenjataan yang dimiliki beberapa negara. Bukan hanya itu saja yang membentuk keunikan gerakan perlawanan itu selama perang, karena keterbatasannya, Hizbullah juga mampu mensistesiskan keterampilan atas keduanya (penggunaan senjata dasar dan modern) secara lebih kreatif.

Misalnya, Hizbullah sukses melumpuhkan Israel Utara dengan tembakan rutin roket jarak pendek Katyusha tipe kuno. Hizbullah mampu menghindari sergapan tameng anti misil Israel yang canggih. Hizbullah mampu memetik nilai strategis dari persenjataan kuno yang dimilikinya. Meski demikian, Hizbullah juga menggunakan roket artileri jarak menengah yang lebih modern sehingga mampu menghantam kota-kota besar Israel termasukTel Aviv.

Yang cukup mengejutkan, Hizbullah mampu memberikan serangan kejutan atas kapal perang Israel dengan misil anti kapal yang dipandu radar. Misil ini diduga adalah varian dari misil China C-802. Selain mengembangkan model baru yang sejenis, Hizbullah juga menggunakan misil anti tank model kuno buatan Rusia seperti AT-3 Sagger, AT-4 Spigot dan AT-5 Spandrel serta model yang lebih canggih seperti AT-14 Kornet, AT-13 Metis-M dan RPG 29. Hasilnya, Hizbullah sukses menewaskan banyak prajurit Israel, selain menghantam ratusan tank dan kendaraan tempur mereka.

Dalam perang elektronik, Hizbullah berhasil menetralisir keunggulan teknologi Israel dengan cara yang sangat sederhana. Dalam berkomunikasi, Hizbullah hanya mengandalkan sistem fiber optik darat ketimbang memanfaatkan jaringan nir-kabel yang lebih canggih. Hizbullah dapat menghindari upaya pengacauan sinyal elektronik Israel. Dengan demikian, pasukan Hizbullah dapat bergerak leluasa, lepas dari pantauan peralatan elektronik Israel. Walhasil, sistem kendali komando tetap berjalan dengan baik selama perang.

Sebaliknya, Hizbullah berhasil menyusup kedalam sistem elektronik Israel dan mengumpulkan data intelijen secara canggih. Keberhasilan itu tidak terlepas dari pesawat pengintai tanpa awak Mirsad-1 buatan Iran yang dimilikinya. Pesawat itu mampu menembuh wilayah udara Israel di 2004 tanpa terdeteksi. Pesawat itu mampu menyadap pembicaraan telpon selular antara para tentara Israel dengan keluarganya. Hizbullah juga mampu memecah sandi komunikasi radio Israel sehingga dapat melacak pergerakan tank Israel serta memonitor laporan korban dan rute suplai.

Faktor itu pula yang mendorong Israel mengembangkan Trophy System (TAPS). Sistem ini dilengkapi radar untuk melacak misil yang datang. Agustus 2009, Israel menanam alat ini dalam tank Merkava generasi terbarunya. Sebelumnya, banyak tank Israel yang menjadi korban dalam perang tahun 2006.

Ideologi Gerakan Hizbullah


Syaikh Naim Qassem, Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah, suatu kali pernah menegaskan bahwa Hizbullah memiliki model gerakan yang berbeda dengan model-model gerakan Islam lain. Salah satu dasar perbedaan itu ialah perbedaan dalam memaknai konsep jihad di antara gerakan-gerakan Islam itu sendiri. Hizbullah, misalnya, memiliki konsep jihad yang defensif dan bersandarkan pada legitimasi moral keagamaan yang kuat, yang secara konsisten diistilahkan dengan muqâwamah (perlawanan, resistence) sebagai ganti dari istilah generik jihad. Penggunaan istilah khas ini bertujuan untuk memisahkan Hizbullah dari ideologi-ideologi gerakan Islam lain yang mengagungkan jihad ofensif (ibtidâi) tanpa dasar-dasar legitimasi moral keagamaan yang kokoh. Hal ini terungkap semakin jelas dengan digunakannya nama Al-Muqâwamah Al-Islâmiyyah (Perlawanan Islam) pada sayap militer Hizbullah.

Watak defensif dari ideologi jihad Hizbullah semakin tampak jelas melalui tema dan figur utama yang diangkatnya, yakni jihad Imam Husain di hari Asyura yang datang dengan segelintir keluarga dan sahabatnya yang berjumlah tidak lebih dari 72 orang untuk menghadapi ribuan pasukan Yazid di Karbala. Imam Husain menjadi model pengorbanan dan darah yang mengalahkan pedang. Imam Husain mengajarkan prioritas masyarakat di atas individu, betapa pun agung dan suci individu tersebut. Jika perbaikan suatu masyarakat dan penegakan keadilan membutuhkan pada pengorbanan individu atau sekelompok orang, maka individu atau kelompok itu wajib berkorban di jalan tersebut. Meskipun Imam Husain seolah-olah mengalami kekalahan militer di hari Asyura, namun kemenangan abadi justru telah diraihnya dengan gugur sebagai syahid di jalan kebenaran dan keadilan.

Tanpa revolusi Imam Husain, maka Islam akan berubah menjadi pemberi stempel pemerintahan imperialis sebagaimana yang terjadi sebelum Islam.

Dalam hampir semua diskursus Hizbullah tentang jihad, semangat perlawanan Asyura itulah yang paling ditonjolkan –semangat melawan tanpa kenal menyerah dan menjadikan kesyahidan sebagai sarana menggapai kemenangan abadi di hadapan keganasan dan kebrutalan yang tidak mengenal batas. Asyura merupakan ideologi dan strategi jihad yang menempatkan pengorbanan diri di jalan maslahat kebenaran, kebaikan dan keadilan terbesar.

Disamping itu, ideologi jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga wilâyah al-faqîh yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad. Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya. Interaksi ideologi dan strategi ini melahirkan konsep jihad yang utuh, koheren dan berpijak pada Islam yang autentik.

Hizbullah menolak takfir –dan dengan demikian tidak menyatakan permusuhan dengan kelompok-kelompok Muslim lain. Bahkan, dalam banyak kesempatan, Hizbullah menekankan pada pentingnya persatuan dan kesatuan umat Islam.